Mitos Ratu Kidul, sungguh mengingkari kenyataan. Di sini mitos mengalahkan realitas, tradisi menggusur modernisasi. Sebab hampir di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa, dari Jawa Barat sampai Banyuwangi, Jawa Timur, ratu lelembut ini dipercaya ada bukan dalam alam khayal semata.
Jadi, mungkin benar pula apa yang dikatakan oleh Edmund Leach dalam bukunya Culture and Communication, bahwa mitos merupakan jembatan antara dunia yang tampak dengan jagad yang tak kelihatan.
Mitos merupakan jawaban dari penghayatan manusia ketika ilmu pengetahuan tak lagi sanggup menerangkan hal-hal yang kelewat supranatural. Apa jawaban manusia Jawa tradisional terhadap ganasnya lautan yang acap kali meminta korban, kalau bukan sosok lelembut bernama Ratu Kidul.
Seperti apakah gerangan wajah Kanjeng Ratu Kidul itu? Sayang sekali Babad Tanah Jawi hanya mengatakan kecantikannya tak tertandingi gadis gadis di bumi ini. Sementara menurut kalangan tertentu yang mengaku pernah juga tahu, kecantikan ratu lelembut ini tak terlukiskan kata.Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi menerima bendera Merah Putih dari sosok rekaan Nyi Ratu Kidul sebelum diserahkan pada Paskibra yang sudah dikukuhkan. (Kompas.com/Reni Susanti)
Dia berkulit kuning langsat, mulus, dan berperangai halus. Kepalanya berhias mahkota kuning keemasan, dan di deretan giginya ada taring lancip kecil. Katanya, taring runcing ini justru menambah pesona wajah sang Ratu dan hanya terlihat saat dia murka. Satu ciri lagi, dia gemar mengenakan warna hijau.
Paling gampang membayangkan, lihat saja lukisan Basoeki Abdullah yang sengaja ditaruh di kamar 308 Samudera Beach Hotel, Pelabuhan Ratu. Konon lukisan itu bukan asal coretan tangan semata.
Contoh lain, masih segar dalam ingatan saat kirab jumenengan (penobatan) Sri Sultan Hamengku Buwono X tahun 1989. GBPH Yudhaningrat, pengawal iring iringan kereta Hamengku Buwono X, merasa melihat putri cantik tiba-tiba menyeruak masuk ke dalam kereta Garudayaksa dan duduk di samping Sri Sultan.
Berbarengan dengan itu, kuda Yudhaningrat melonjak kaget menyebabkan penunggangnya terjatuh. Peristiwa itu terjadi di sebelah utara alun-alun Keraton Yogya. Siapa lagi putri cantik itu kalau bukan Nyai Roro Kidul yang saat itu diributkan koran-koran setempat, ikut mendampingi Sri Sultan berkirab.
Contoh di atas adalah bukti kecil dari sekian banyak bukti yang pernah tersebar tentang keberadaan ratu demit segoro kidul, Tokoh ini memang membingungkan sekali, kalau sedang baik hati dia mau memperlihatkan diri, cuma kalau lagi murka bisa menyeret manusia ke dasar samudera.
"Biasanya orang yang jadi korban, kaum muda yang kemendel atau sok jagoan, berteriak menantang supaya kanjeng Ratu Kidul itu memperlihatkan dirinya," ujar Harno Sutopo, penduduk Pantai Parangtritis, Yogya.
Menurut Harno, Parangtritis itu pintu gerbang keraton laut selatan, maka berlakulah yang wajar-wajar saja. Jangan berteriakteriak menantang, jangan pula berpakaian warna hijau pupus. "Hijau adalah warna seragam prajurit penghuni laut selatan, juga warna kegemaran sang ratu," tuturnya.
Kisah Sakral
Mitos Nyai Roro Kidul sebagaimana tersurat dalam Babad Tanah Jawi itu sampai sekarang masih ada.
Kemasyhurannya bergema hingga terekam dalam kitab-kitab ilmiah bangsa seberang.
Sudah lama mitos ini dikaji dan diteliti oleh para ahli, namun semua itu tak sanggup mengubah pandangan masyarakat Jawa akan eksistensi tokoh yang dianggapnya betul-betul ada.
Babad Tanah Jawi karya gabungan sejarah dan dongeng, memang bukan satu-satunya sumber tentang Nyai Roro Kidul.
Namun dari karya tanpa nama inilah, kisah ratu dedemit laut selatan muncul menjadi bagian dari cerita rakyat Indonesia, bukan Jawa saja.
Nyai Roro Kidul, demikian ejaan sebenarnya dari tulisan serai Babad Tanah ]awi. Tapi entah kenapa beredar dan terkenal dengan nama yang salah baca, Kanjeng Ratu Kidul!
Bahkan ada perbedaan persepsi yang meluas dan diyakininya, bahwa antara Nyai Roro Kidul dan Kanjeng Ratu Kidul itu berbeda.
Artinya, Roro Kidul itu patih, sedangkan Kanjeng Ratu Kidul itu ratunya. Namun, Babad Tanah ]awi tak menyebutkan itu.
Kisah gaib rakyat jelata ini pun lantas berkembang menjadi kisah sakral yang menuntut pertanggungjawaban religi yang sifatnya abadi.
Ya, abadi karena sesuai janji, Roro Kidul akan selalu berhubungan dengan seluruh raja Jawa keturunan Panembahan Senopati hingga kini.
Maka selama Kerajaan Mataram ada, tokoh penguasa dedemit Pulau Jawa ini akan tetap disembah untuk dimintai berkah.
Jadi ratu makhluk halus yang mendirikan bulu roma ini, sesungguhnya tidak memiliki watak jahat, bahkan sebaliknya berhati mulia karena dipercaya menjaga ketenteraman keraton dan rakyat Mataram hingga sekarang.
Memang tak salah kalau cerita besar ini kemudian disebarluaskan lewat media bacaan bergambar yang komiknya laku keras di sekitar tahun '60-an.
Justru komik inilah yang menarik, mengingat penyajian katanya singkat dan padat, sementara gambarnya sanggup menghanyutkan daya fantasi pembaca untuk membayangkan kecantikan rupa Nyai Roro Kidul, serta kebrutalan jin, setan laknat penjaga laut selatan.
Layar perak film nasional pun tak pernah sepi dari cerita-cerita berbau mistis tentang Nyai Roro Kidul dengan serentet judul yang seram plus bumbu seks.
Yang jelas ratu sakti yang rupawan ini sudah menjadi salah satu isi khazanah kisah klasik di Indonesia.
Bahkan nampak semakin sakral, karena seringnya diperingati dalam bentuk upacara labuhan atau terpentaskan dalam teater tertutup berbentuk seni tari bedaya ketawang dan bedaya semang.
Wajar kalau kemudian mitos Nyai Roro Kidul melebihi kisah Babad Tanah ]awi dan kebesaran Kerajaan Mataram sendiri.
Lihat saja, setahun sekali Keraton Yogyakarta pasti melakukan upacara tradisi labuhan di Parangkusuma.
Labuhan adalah persembahan sesaji yang ditujukan kepada Kanjeng Ratu Kidul.
Tradisi ini dilakukan bukan sekadar gengsi keraton atau untuk kepentingan wisatawan melainkan demi keselamatan raja, keraton, dan seluruh rakyatnya.
Ambil contoh, Sri Paku Buwono XII dari Keraton Solo di penghujung tahun 1985 melakukan labuhan guna keselamatan rakyat dan keraton setelah mengalami musibah kebakaran.
Untuk menciptakan keserasian hubungan dengan Ratu Laut Selatan, Kasunanan Surakarta membangun panggung Sanggabuwana sebagai tempat pertemuan mereka berdua.
Sedangkan Kasultanan Yogyakarta memilik sumur gemuling, terowongan bawah tanah di Tamansari Keraton Yogyakarta yang konon tembus sampai laut selatan sebagai tempat hubungan mistis antara Sunan dengan Kanjeng Ratu Kidul.
Tapi hubungan cinta antara raja dan ratu ini oleh sejarawan Prof. Dr. Edi Sedyawati diartikan sebagai hubungan yang bersifat adikodrati bukan hubungan seksual duniawi.
"Karena itu," tulis Edi dalam Prisma no. 7, Juli 1991, "hubungan mereka tak pernah membuahkan anak."
Menyinggung hubungan seksual, sejarawan IKIP Sanata Dharma Yogya, Suhardjo Hatmosuprobo, menyatakan hubungan suami-istri Raja Jawa dan Ratu Kidul itu hanya berlaku sebelum Perjanjian Gianti 1755.
Sesudah Mataram pecah terbagi dua, masing-masing raja Yogya dan Surakarta sama-sama menganggap Kanjeng Ratu sebagai eyang, bukan istri.
"Soalnya, kalau tidak begitu Kanjeng Ratu Kidul itu namanya poliandri," katanya.
Apa pun komentar ahli, persepsi masyarakat Jawa tetaplah tak bergeming dari dulu hingga kini. Semua raja Jawa bisa berkomunikasi dengan Ratu Kidul.
Tak percaya? Sekadar contoh baca saja Tahta Untuk Rakyat hlm. 103. Jelas sekali almarhum Hamengku Buwono IX mengisahkan pengalamannya bertemu dengan Kanjeng Ratu Kidul setelah menjalankan laku puasa.
Katanya, ketika bulan naik, Kanjeng Ratu ini terlihat cantik sekali. Sebaliknya, saat bulan menurun dia nampak sebagai wanita tua renta.
(Tulisan ini ditulis dalam Kumpulan Kisah Misteri Intisari tahun 2002 dengan judul asli Nyai Roro Kidul, Sosok Rekaan Senopati yang ditulis oleh B. Soelist dan Djati Surendro)
Labels:
misteri
Thanks for reading Menguak Sosok Nyai Roro Kidul Sang Ratu Gaib yang Dipercaya Ada, Bukan Dalam Alam Khayal Semata. Please share...!
0 Comment for "Menguak Sosok Nyai Roro Kidul Sang Ratu Gaib yang Dipercaya Ada, Bukan Dalam Alam Khayal Semata"